LAPORAN : SEMPURNA PASARIBU – TANAH KARO
Benang kusut permasalahan pembangunan mega proyek Taman Simalem Resort (TSR) seperti tak habis-habisnya untuk dibicarakan. Jika sebelumnya berbagai elemen masyarakat menyorot lokasi yang berada di hutan lindung itu, kali ini pembangunan hotel bertaraf internasional di lokasi objek wisata berkelas dunia itu kembali dipertanyakan sejumlah kalangan.
Terkait belum terbitnya izin Mendirikan Bangunan (IMB), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tapi Taman Simalem Resor (TSR) di Kecamatan Merek, Kabupaten Karo, dibawah bendera PT Merek Indah Lestari (MIL), sudah beroperasi, bahkan 2,4 Ha areal agrowisata yang disebut-sebut nomor satu di Asia itu berada di hutan lindung belum clear, diperparah lagi dengan pembangunan hotel bertaraf internasional.
Praktisi pembangunan dan pegiat demokrasi, Cuaca Bangun, SE, Ak, SH, MH, MSi kepada wartawan, Selasa (7/5) di Berastagi, mengatakan bahwa pembangunan TSR sekitar delapan tahun lalu, memang tak terlepas dari berbagai polemik dan persoalan yang hingga saat ini masih belum selesai. Bahkan tahun 2005, permasalahan TSR mencapai klimaksnya, sampai-sampai Menhut RI MS Kaban saat itu, Dinas Kehutanan Pempropsu, Komisi B DPRD Sumatera Utara, DPRD Karo menyerukan agar TSR yang berada “dibibir” Danau Toba itu segera di stop dan ditutup.
Memang saat itu TSR dihentikan sementara dari segala kegiatan dan aktifitasnya, menyangkut adanya pro kontra. Namun, belakangan pembangunannya kembali berjalan seperti semula hingga saat ini, pihak pengembang terkesan membandel,” ujarnya.
Pemberian izin mendirikan bangunan seperti resort tidak bisa per unit (terpisah-red), tapi harus secara menyeluruh. Sebelum memberikan IMB, institusi terkait harus melihatnya secara balance dari semua perspektif demi kebaikan daerah kita. Artinya, kajian hukum secara komprehensif harus dilakukan sebelum mengeluarkan IMB, apalagi menyangkut objek wisata diatas lahan seluas 206 ha, terang Bangun.
Pembangunan mega proyek bernilai ratusan miliar rupiah dengan para investor asing melalui Penanaman Modal Asing (PMA) ke daerah ini harus kita pahami juga dari sudut “multiflier effect” (dampak positif secara umumnya dalam bidang bisnis-red), namun demikian ada baiknya segala ketentuan dan peraturan yang berlaku dipatuhi juga oleh pihak pengembang. Sehingga masyarakat tidak menganggap Perda itu terkesan diskriminasi, ujarnya.
Harusnya, sambung Cuaca Bangun, dalam hal status quo pihak pengembang TSR menghentikan segala kegiatan pembangunan, sebelum pihaknya memenuhi seluruh unsur persyaratan yang dibutuhkan, demi kebaikan mereka (investor) dan kebaikan Tanah Karo sendiri. Soal pidananya, itu adalah ranahnya pihak kepolisian. Ini adalah pembelajaran bagi kita semua agar kedepan hal serupa tidak terulang di daerah ini. Bahkan pihak TSR sudah melakukan pengutipan retribusi, apa payung hukumnya,? “Sat Pol PP selaku penegak Perda Karo jangan “banci” beraninya cuma sama masyarakat lemah,” sindirnya.
Sumber wartawan di Pemkab Karo menegaskan, PT MIL pada awalnya siap mematuhi setiap peraturan. Namun disayangkan, Perda No. 7 tahun 2003 tentang Tata Ruang Kehutanan Provsu-baru disahkan Menhut tahun 2005, sementara Pemkab Karo melakukan revisi tentang Tata Ruang Kabupaten Karo tahun 2004. Jadi sebelum Tata Ruang kehutanan Pemprovsu disahkan, Tata Ruang Kabupaten Karo direvisi. Tentu tidak lagi sinergis. Belum lagi bila dikaitkan dengan SK Menhut Nomor 44 Tahun 2005, seluruh areal TSR dipastikan berada di hutan lindung,” tuturnya.
Sementara, seorang staf di Dinas Kehutanan Kabupaten Karo yang tidak bersedia dipublikasikan identitasnya, mengakui PT MIL secara nyata telah merusak hutan kawasan register Sibuaten Kecamatan Merek. Dalam hal ini pihak PT MIL harus bertanggungjawab terhadap kerusakan hutan tersebut maupun dampak yang bakal ditimbulkan nantinya. Demikian juga soal pembangunan hotel bertaraf internasional di lokasi itu, sudah jelas menyalahi ketentuan dan peraturan yang berlaku.
Ketika hal itu dikonfirmasi ke Kepala Perizinan Satu Atap Pemkab Karo, Ng Ramos Peranginangin, mengaku bahwa segala perizinan menyangkut pembangunan TSR belum ada dikeluarkan Pemkab Karo hingga hari ini.
Disinggung soal pembangunan hotel bertaraf internasional di lokasi yang masih status quo tersebut, Ramos tidak tahu menahu. Soalnya IMB pembangunan TSR saja tidak ada, bagaimana mungkin mereka (pengembang-red) bisa mengurus izin mendirikan hotel maupun bangunan-bangunan lainnya. Menyinggung masalah pinjam pakai sebagian kawasan hutan lindung, dia mengakui lagi, bahwa pihaknya tidak mengetahui persis. “Saya tidak yakin, Menteri Kehutanan memberikan izin pinjam pakai tentang pengalihan fungsi sebagian kawasan hutan Sibuaten terhadap PT MIL untuk dijadikan kawasan wisata berbasis agrowisata,” ungkapnya sembari menambahkan, itulah penyebab AMDAL TSR hingga hari ini belum clear di pusat.
Pantauan sejumlah wartawan dilapangan, pembangunan hotel bertaraf internasional hampir tidak ada kendala berarti. Pembangunan hotel tersebut diprediksi sudah siap sekitar 60 persen, dengan pemandangan menakjubkan dari sisi barat Danau Toba. Seorang pekerja yang tidak mau dipublikasikan namanya, mengaku bahwa sebagian pembangunan hotel sudah siap dikerjakan, wisatawan sudah bisa menginap, namun pembangunan hotel terus berjalan secara bertahap, sesuai instruksi pihak owner, terangnya.