LAPORAN : SEMPURNA PASARIBU – KABANJAHE
Gejala penggunaan uang untuk mempengaruhi pemilih secara berlebihan yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi seperti kebebasan (freedom), persamaan (equality), dan keadilan (justice). Praktek-praktek seperti ini sering terjadi pada Pemilu sehingga pemimpin yang terpilih tidak berlangsung secara demokratis.
Hal itu menjadi alasan yang mengatakan, bahwa money politic akan mencederai demokrasi. Dan itu pula yang mendasari kekuatiran berbagai pihak, pemilihan legislatif 2014 akan diwarnai money politik.
Demikian dikatakan dosen Pasca Sarjana USU Drs Bengkel Ginting, Msi, mantan Ketua Panwaslu Kada Kabupaten Karo, Nggeluh Sembiring, S. IP, Ketua Panwaslu Kecamatan Kabanjahe, Robert Tarigan, SH saat diskusi dengan wartawan, Selasa (30/4) di Kabanjahe. Perbedaannya dengan cost politic adalah biaya yang dikeluarkan para calon untuk melakukan pertemuan-pertemuan dengan para pemilih tanpa ada sesuatu pemberian baik dalam bentuk uang atau barang dan tindakan memengaruhi pemilih untuk memilih si calon tersebut. Bahasa populernya adalah ongkos yang dikeluarkan calon untuk membiayai tim sukses, alat peraga kampanye dan pengisian saksi di setiap TPS, terang Ginting.
Secara sosiologi politik, pemilih di Kabupaten Karo dapat dibagi dalam 3 stratifikasi atau lapisan yakni 20 persen lapisan atas (high class), 40 persen lapisan tengah (middle class) dan 40 persen lapisan bawah (low class). Pemilih pada lapisan tengah dan atas sebenarnya akan termasuk pemilih evaluatif obyektif namun karena nilai-nilai kekerabatan (extended family) mereka cendrung memilih kerabatnya yang dicalonkan Parpol. Sedangkan pemilih pada lapisan bawah karena kondisi keseharian mereka lebih cendrung akan memilih calon yang memberikan keuntungan sesaat (evaluatif ekonomis).
Lebih jauh Bengkel Ginting, yang juga Ketua KPU Karo periode 2003 – 2008 mengatakan, fakta politik pada Pemilu April 2009 lalu terjadi persaingan ketat diantara 953 caleg dari 36 Parpol untuk mengisi 35 kursi di DPRD Karo terutama karena 3 bulan sebelum Pemilu, Mahkamah Konstitusi menetapkan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak.
Persaingan ketat makin meluas antara calon dalam satu partai, sehingga segala cara dilakukan untuk memperoleh suara terbanyak. Disinilah dugaan munculnya pelanggaran Pemilu yang dilakukan caleg dan tim suksesnya dengan praktek-praktek threat, induce dengan carrots (bayaran) yang popular dikenal masyarakat dengan istilah “serangan fajar” berbentuk money politic. Dalam kondisi perekonomian yang mengalami kelesuan, harga produk pertanian dan input pertanian tidak seimbang maka, 40 persen pemilih lapisan bawah sangat rentan dengan serangan fajar dari caleg yang memiliki modal ekonomi.
Hasilnya, 35 anggota DPRD Karo mengeluarkan ongkos politik yang tidak wajar besarnya. Akibatnya, sulit diharapkan komitmen mereka untuk memperjuangkan nasib rakyat yang sudah terlanjur menjual kedaulatannya, paparnya. Sementara Ketua Panwaslu Pilgubsu Kecamatan Kabanjahe, Robert Tarigan, SH mengaku, salah satu cara yang dapat dilakukan untuk meredam lajunya permainan politik uang adalah dengan mengorganisir pemilih yang memiliki preferensi yang sama menyangkut managemen pemilihan yang selama ini berlangsung.
Pengorganisasian yang dimaksud untuk bersepakat bersama untuk mencermati tanda-tanda munculnya politik uang dan bersama-sama sepakat untuk tidak memilih calon yang terindikasi bermain politik uang, tentunya disamping mendorong kinerja Panwaslu, ujarnya. “Untuk memperjuangkan perbaikan nasib rakyat dibutuhkan caleg yang kredibilitas dan kapabilitasnya sudah diakui, rakyat butuh caleg berkualitas dan membumi. Dan sudah seharusnya rakyat belajar dari pengalaman Pileg sebelumnya,” ujar Robert Tarigan, SH.
Hal senada dikatakan, mantan Ketua Panwaslu Kada Kabupaten Karo, Nggeluh Sembiring, S.IP. Dikatakannya, secara psikologi politik, rakyat yang kecewa dengan pemimpinnya melampiaskan ketidakpuasan dengan mengeksploitasi calon yang mengakibatkan ongkos politik menjadi anggota DPRD Karo cukup besar.