TOBA, SUMUTBERITA.com – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Hukum (FH) Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan menggelar kegiatan penyuluhan hukum di Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Kabupaten Toba pada tanggal 25 – 27 Juni 2024 lalu.
Kegiatan bertema “Posisi Masyarakat Adat dalam Kawasan Hutan Negara” ini bertujuan memberikan wawasan atau pandangan kepada masyarakat adat Desa Sigapiton. Dengan mengundang Kepala Desa Sigapiton, kegiatan ini menghadirkan pemateri yang mengerti pokok agraria pada bidang pertanahan atau masyarakat adat yang diatur dalam UU Agraria.
Pada kesempatan ini, BEM FH UHN menerima keluh kesah masyarakat adat Desa Sigapiton atas perjuangan mereka dalam mempertahankan tanah adat milik nenek moyangnya yang sudah diambil alih pihak tertentu. Padahal, tanah adat itu sudah didiami dan dikelola nenek moyang mereka sejak 100 tahun lampau.
“Tahun 2016 sampai sekarang, kami masyarakat adat Sigapiton berjuang mempertahankan tanah wilayah adat kami yang sudah diambil alih oleh kehutanan. Kehutanan bersama Pemkab Toba memberikan ijin kepada Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT),” kata M. Nadapdap (82), tokoh masyarakat adat Desa Sigapiton.
Raja Bius (gelar penatua adat) ini menyebut, pemberian ijin itu tidak melibatkan langsung masyarakat adat Sigapiton. Di lahan itu, kata Nadapdap, saat ini berdiri Kaldera Geopark Sibisa. Belum lama berdiri, sudah beberapa kali mengalami longsor dan merugikan masyarakat setempat.
Tak sampai disitu, pada tahun 2021 lalu salah satu investor dari PT. Labersa Hutahaean juga diberi ijin dan kontrak atas tanah selama 30 tahun oleh BPODT. Hal ini, kata dia, juga tanpa adanya persetujuan atau kesepakatan dari masyarakat adat Sigapiton.
“BPODT menerima nilai kontrak yang cukup tinggi dari Labersa. Masyarakat adat Sigapiton juga sama sekali tidak dilibatkan oleh pemerintah, baik dalam merancang wacana awal pembangunan hingga dimulainya pembangunan,” ungkap Raja Bius.
Ia bersama masyarakat adat Sigapiton merasa prihatin dengan seluruh rentetan peristiwa yang terus terjadi hingga menyebabkan tergerusnya tanah wilayah adat mereka. Bayangkan saja, dari yang dulunya seluas sekitar 500 Hektar (Ha), kini hanya tersisa sekitar 81 Ha.
Sementara, BEM FH UHN Medan mengaku merasa miris usai mendengar keluh kesah dari masyarakat adat Sigapiton saat melaksanakan penyuluhan hukum di desa itu. Terlebih, penderitaan itu diperparah dengan akses jalan menuju desa tersebut yang curam dan hancur.
“Oleh karena itu, kami (BEM FH UHN) turun mendengarkan keluh kesah masyarakat adat Sigapiton. Ini menjadi bagian Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kami akan terus mengawal ketika Desa Sigapiton bermasalah dikemudian hari. Kami akan terus membantu agar tanah wilayah adat desa ini tidak berkurang akibat ulah mafia-mafia tanah maupun oknum atau kelompok dari institusi pemerintah,” tegas pengurus BEM FH UHN.
Teks foto: BEM FH UHN berfoto bersama masyarakat adat Desa Sigapiton usai melaksanakan penyuluhan hukum soal agraria di desa itu. SUMUTBERITA.com/ist
PENULIS: RED