TANAH KARO – SUMBER
Aksi pungutan liar (pungli) kembali mencoreng dunia pendidikan di Karo. Kesepakatan antara komite sekolah dan orang tua siswa, selalu menjadi alasan klasik yang menjadi dalih pihak sekolah guna memuluskan praktek menyimpang tersebut.
Seperti yang terjadi di SMA Negeri 1 Simpang Empat, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Dugaan pungli tersebut terjadi saat pelaksanaan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Ajaran (TA) 2017/2018.
Berdasarkan keterangan yang diperoleh SUMUT BERITA dari beberapa orang tua calon siswa belum lama ini menyebutkan, mereka diminta oleh komite sekolah untuk membayar biaya dengan dalih membeli bangku kelas. Hal itu disampaikan oleh komite sekolah saat digelar rapat pada tanggal 24 Juli 2017 lalu.
Menurut mereka, biaya tersebut bukan hanya dikenakan bagi siswa X, tapi juga bagi siswa XI dan XII. Mereka menuturkan, jumlah yang diminta bervariasi. Untuk kelas X dibebankan biaya Rp 700 ribu, kelas XI dibebankan Rp 600 ribu dan kelas XII dibebankan Rp 500 ribu.
“Kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak sekolah bersama komite secara sepihak tanpa adanya kesepakatan dengan orang tua siswa dan calon siswa. Ini sangat memberatkan, karena siswa di sekolah itu didominasi pengungsi erupsi Gunung Sinabung,” jelas beberapa orang tua siswa yang minta namanya tidak dibeberkan.
Menurut mereka, sebagian besar orang tua siswa tidak pernah menyetujui atau menyepakati biaya yang dibebankan oleh pihak komite. Terlebih, kata mereka, adanya tanda tangan orang tua siswa sebagai bukti persetujuan pembelian bangku kelas yang dikeluarkan oleh komite sekolah merupakan sebuah pembohongan.
“Kami tidak pernah sepakat dengan pihak sekolah maupun komite soal biaya yang dibebankan. Kami diintimidasi oleh ketua komite sekolah,” beber mereka sembari menyebut nama ketua komite berinisial JS yang juga menjabat sebagai Bendahara Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Karo.
Sementara, salah seorang orang tua siswa kelas XI menuturkan, dirinya sudah melihat isi surat kesepakatan berisi tanda tangan para orang tua siswa yang diduga dibuat oleh pihak komite. “Jangankan menandatangani, hadir sajapun aku tidak ada. Kenapa nama dan tanda tanganku ada di surat itu? Itu jelas direkayasa, karena tanda tanganku bukan seperti itu,” jelasnya.
Lebih jauh disampaikan, kutipan tersebut sudah berjalan mulai, Senin 31 Juli 2017 kemarin. Menurutnya, dari jumlah biaya yang dibebankan, mereka mencicil sebesar Rp 100 ribu per bulan. “Pihak komite beralasan, uang itu untuk melengkapi fasilitas lima ruang kelas,” ungkapnya sembari menyerahkan bukti rekaman rapat komite tersebut.
- BRYAN TARIGAN/RED