MEDAN – SUMBER
Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Polda Sumut) dituding telah melakukan diskriminasi dalam penegakan hukum. Karena, hanya berani tetapkan Silverius Bangun (terlapor II) sebagai tersangka.
Padahal dalam laporan yang tertuang dalam STTPL/566/V/2014/SPKT I, korban juga melaporkan Jopinus Ramli (JR) Saragih sebagai terlapor I. Namun, hingga BAP Silverius dinyatakan P21 oleh pihak Kejatisu, JR Saragih tetap melenggang dan hanya menyandang status sebagai saksi saja. Hal itu disampaikan oleh korban Elias Purmaja Purba, warga Jalan Bunga Cempaka, Kelurahan Padang Bulan Medan, melalui kuasa hukumnya Ilwa Pulita pada wartawan, kemarin.
Ilwa menyebut, tindakan penyidik dalam menangani kasus ini sudah tidak sesuai dengan hukum dan diskriminatif. Karena, semua yang dilakukan oleh Silverius Bangun terhadap klienya hingga mengalami kerugian Rp4 miliar, adalah atas perintah JR Saragih, yang sebelumnya berjanji pada korban akan memberikan pekerjaan, namun hal itu tak pernah ada hingga kasus ini dilaporkan ke Poldasu pada 13 Mei 2014
silam. “Penyidik Subdit I Dit Reskrimum Poldasu sepertinya melindungi JR Saragih, karena begitu saja percaya dengan keteranganya. Dan tak pernah lakukan konfrontir dengan keterangan korban,” ujar Ilwa.
Selain itu, tambahnya, penyidik juga menjadikan bukti yang tidak sah untuk mengkesampingkan bukti yang sah dalam pemeriksaan. Padahal, untuk mendukung laporan tersebut, korban sudah menghadirkan beberapa orang saksi yang menyaksikan adanya beberapa kali pertemuan antara korban dengan JR Saragih, sebelum korban memberikan uang pada Silverius Bangun.
Ilwa menjelaskan, awal mula terjadinya dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan sebagaimana dimaksud Pasal 378 jo 372 KUHP ini, lanjutnya, diawali ketika kerabat korban yang juga adalah kerabat JR Saragih bernama Antonius Purba mengajak korban untuk bertemu di rumah JR Saragih, di Jalan Karya Wisata Medan pada 6 Feb 2011 lalu.
Dalam pertemuan itu, JR Saragih mengenalkan korban dengan Silverius Bangun dan kepada korban JR mengatakan, Silverius adalah orang yang mewakilinya untuk segala urusan pekerjaan dan pembayaran. Karena, sebagai Bupati Simalungun saat itu, JR mengaku sangat sibuk dengan pekerjaanya.
“Di pertemuan itu, kepada korban, JR Saragih menawarkan pekerjaan di Simalungun dan Tanah Karo seharga Rp3,5 juta per meternya. Dengan ketentuan 10% dari harga itu adalah bagian JRdan korban setuju. Pada pertemuan itu juga, JR Saragih langsung meminta uang pada korban sebesar Rp1,5 miliar. Dimana, uang ini nantinya akan diperhitungkan dengan pekerjaan yang diberikan,” terang Ilwa.
Selanjutnya, pada 7 Feb 2014, bersama dengan Silverius Bangun, korban pun ke Bank Bukopin di Jalan Gajah Mada Medan. Di Bank ini, korban memindahkan uang dari rekeningnya ke RS Evarina Etaham milik JR Saragih sebesar Rp900 juta. Kemudian, Rp100 juta diberikan secara tunai pada Silverius Bangun. Pemberian uang ini disaksikan oleh Antonius Purba dan Wilson Kaban. Sementara, sisanya Rp500 juta lagi, diberikan korban secara tunai pada Silverius di bank yang sama pada 9 Februari 2011, pemberian ini disaksikan oleh David Pelawi dan Wilson Kaban.
Kemudian, pada 14 February 2011, Silverius kembali mendatangi korban dan meminta uang sebesar Rp100 juta, dalam bentuk ringgit Malaysia. Alasanya uang itu akan digunakanya untuk biaya perobatan ibunya yang sedang sakit di Malaysia.
Masih kata Ilwa, pada 19 Juni 2011, korban pun kembali diundang oleh JR Saragih ke rumahnya di Jalan Karya Wisata Medan. Disini, pada korban JR Saragih juga secara langsung meminta uang Rp3 miliar. Permintaan uang ini disaksikan oleh David Pelawi yang saat itu datang menemani korban berkunjung kesana.
Kepada korban, lanjut Ilwa, JR menyampaikan uang itu akan digunakanya untuk mengurus persoalan hukumnya di Jakarta. Dan uang itu juga akan diperhitungkan dengan nilai pekerjaan nantinya. Permintaan itu tak bisa dipenuhi, korban hanya menyanggupi Rp1,5 miliar saja. Kemudian, pada 26 Juni 2011, di Bank Bukopin Jala Gajah Mada Medan, korban kembali menyerahkan uang sebesar Rp1,5 miliar pada Silverius Bangun. Dan uang itu langsung ditransfer Silverius pada seseorang di Jakarta. “Semua bukti-bukti ini ada dan diperiksa oleh penyidik,” sebutnya.
Setelah total uang Rp3 miliar itu diberikan oleh korban, lanjutnya, pada September 2011, JR Saragih ada memberikan pekerjaan pada korban, yakni membuat ruang makan di RS Evarina Etaham Berastagi dengan nilai proyek sebesar Rp885 juta. Selain itu, JR juga ada memberikan pekerjaan merancang ruang makan dan hotel miliknya di Simalungun. Mirisnya, meski kedua pekerjaan itu sudah selesai dikerjakan oleh
korban, JR Saragih sama sekali tak membayarnya.
Ilwa menegaskan, dalam hal ini, cukup jelas adanya hubungan antara korban dengan JR Saragih dalam menjanjikan proyek. Keterlibatan Silverius Bangun dalam kasus ini, bukanlah berdiri sendiri dan berbuat atas kemaunya sendiri.
“Setiap dilakukan transaksi korban dengan Silverius selalu ada pertemuan antara korban dengan JR Saragih sebelumnya. Seperti, pengiriman uang ke RS Evarina Rp900 juta, penyerahan uang ke Silverius Rp500 juta di Bank Bukopin Jalan Gajah Mada, tanggal 9 Feb 2011. Ini adalah tindaklanjut pertemuan pada 6 Feb 2011. Namun, penyidik tidak pernah mempertimbangkanya,” ungkap Ilwa.
- DEDI