TANAH KARO – SUMBER
Penerimaan Siswa Baru (PSB) tingkat SMP di Kab. Karo beberapa waktu lalu berbuntut protes dari orangtua siswa. Temuan berindikasi kecurangan bertajuk “kelas bayar” atau titipan. Fakta penambahan kelas baru di sekolah favorit SMPN 1 di kota wisata Berastagi itu, terungkap setelah sejumlah orang tua siswa merasa keberatan dengan banyaknya kutipan liar.
Pemerhati Pendidikan asal Kota Berastagi, G. Sitepu kepada wartawan, Senin (14/9/15) mengatakan, siapapun yang terlibat melanggar aturan PSB harus diselidiki secara seksama. Kalau terbukti bersalah harus diberikan sanksi tegas.
“Dengan membiarkan anak-anak masuk SMPN 1 Berastagi dengan cara curang, sama dengan merusak mental anak-anak itu sendiri, karena dengan nilai dibawah standar saja bisa dengan mulus masuk SMPN 1 Berastagi. Jangan heran kalau ke depannnya anak-anak itu akan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan. Tambah rusaklah negara ini,” ujar Sitepu.
Menurutnya, kasus siswa penumpang gelap ini adalah aib besar bagi pendidikan. Selain telah mencoreng citra dan kualitas pendidikan di Kab. Karo, kasus ini juga membuktikan rendahnya integritas pengawas di ranah pendidikan, kepala sekolah (kepsek), hingga guru.
Untuk itu, kata dia, pihak yang terlibat mulai dari Kepsek SMPN 1 Berastagi dan oknum DPRD Karo dalam kasus siswa gelap di Berastagi, harus diusut sampai tuntas. Lalu diperiksa siapa-siapa yang terlibat di dalamnya. Barangkali ada banyak oknum yang terlibat bermain.
“Kalau mau jujur, sebenarnya kasus ini bukan kali ini saja terjadi di Kab. Karo. Sudah rahasia umum, kalau dari tahun ke tahun pengkhianatan terhadap aturan ini telah berlangsung lama. Hanya saja tak pernah diungkap. Atau mungkin tak ada yang berani mengungkapnya,” jelasnya.
Dikatakan, apapun alasannya, ini harus diusut supaya kedepan ada shock therapy bagi yang menyalah gunakan kekuasaan (abuse of power). “Sungguh keterlaluan, anak orang kaya dan memiliki relasi diberikan kemudahan, cukup dengan membayar Rp3 juta per orang. Sementara anak orang miskin semakin termarginalkan dalam memperoleh pendidikan yang berkualitas,” ketus Sitepu.
Salah seorang orang tua siswa yang enggan dituliskan identitasnya mengaku, bukan hanya Rp3 juta saja yang dikutip, masih ada lagi pungli untuk orang tua yakni untuk beli gorden dan pot bunga. Diungkapkan, awalnya “kelas bayar” tersebut ditempatkan di laboratorium, belakangan dibangun kelas baru.
Sementara, Kepala Sekolah SMPN 1 Berastagi, Sri Heni Saragih ketika dikonfirmasi, Senin siang (14/9/15) di ruang kerjanya membenarkan bahwa disekolahnya ada “kelas bayar”.
“Pada saat penerimaan calon siswa baru bulan Juli kemarin di sekolah ini, ada yang mendaftar 328 orang. Sementara, sesuai daya tampung hanya 287 orang dengan nilai ujian sekolah yang terendah 81,5,” jelas Sri.
Dikatakan, atas kesepakatan antara orang tua yang anaknya tidak dapat masuk sekolah ini dengan pihak komite, disarankan membangun kelas baru untuk 36 orang siswa karena masih cukup lahan untuk membangun satu lokal.
“Dengan perjanjian, pihak orang tua berjanji memenuhi biaya pembangunan dan meubiler “kelas bayar” tersebut. Salah seorang orang tua siswa yang kebetulan memiliki usaha panglong menyanggupi permintaan saya, akhirnya dibukalah “kelas bayar” tersebut,” akunya.
Lantas, berapa nilai ujian sekolah yang terendah dari 36 siswa tersebut? Menurut Sri Heni, nilai terendah yakni 75,1 dan tertinggi 83,3. Bahkan, katanya, dari 36 siswa tersebut banyak titipan dari oknum DPRD Karo.
Mengantisipasi ejekan kelas bayar dari rekan-rekan anak-anak tersebut, menunggu pembangunan kelas baru yang sekarang sudah tahap finishing, akhirnya ke 36 anak-anak itu disebar di sejumlah kelas setelah melalui seleksi kembali. “Mungkin dua minggu lagi sudah selesai kelas baru tersebut,” jelasnya.
- BARON PURBA