Sinabung Meletus, Fenomena Alam Atau “Panggilan”

banner 468x60

Oleh : Zakharia Ginting, S.S (wartawan sumutberita)

Gunung Sinabung adalah gunung berapi yang berada di dataran tinggi Kabupaten Karo. Gunung Sinabung tidak aktif selama 400 tahun sebelum bergejolak tahun 2010. Mulai tahun lalu (2013), Gunung Sinabung kembali meletus bahkan lebih dahsyat dari letusan 2010 silam.

banner 336x280

sinabungSebuah kejadian alam yang harus kita cermati dan kita perlu memandangnya dari sisi yang lain. Apakah letusan ini sebagai fenomena alam yang biasa atau justru merupakan sebuah panggilan. Letusan Sinabung memang telah mengundang empati dari banyak dermawan yang semuanya berkeinginan untuk membantu korban letusan yang sekarang memenuhi tempat-tempat pengungsian. Sungguh sebuah keadaan yang sangat mengharukan. Lebih dari 17.000 pengungsi tersebar di sekitar 30 titik pengungsian yang sangat membutuhkan pertolongan.

Tapi bisa saja letusan Sinabung kali ini bukan untuk menarik empati semata.
Sinabung sedang memanggil mu hai Saudara- Saudariku Putra-Putri Terbaik Karo di mana pun kini kau berada. Masih kurang bergemuruh kah dentuman suara Sinabung untuk memanggilmu? Tidakkah kau lihat air mata Gunung Sinabung kita mengalir bersama lava pijarnya? Atau masih kurang pekat kah kau lihat awan hitam muntahan Sinabung mengirim pesan untuk mu? Masih kurang tinggi lagi kah 10 km abu vulkanik Sinabung yang membubung tinggi ke langit untuk menunjukkan betapa ia merindukan mu pulang untuk tanah leluhurmu?

Masih kau ingatnya falsafah Pesikap Kuta Kemulihen yang dulu pernah kau cita-citakan
ketika akan berangkat ke negeri rantau tempatmu yang indah sekarang? Lantas kenapa kau biarkan gunung tertinggi kita, atap bagi kehidupan Tanah Karo ini harus merasakan sakit menantikanmu? Atau sekarang kau sudah tega membiarkan ribuan orang datang untuk melihat pemandangan meletusnya Gunung Sinabung sementara saudara-saudaramu yang tinggal di tempat-tempat pengungsian harus hidup dalam duka dan jerit tangis yang tak di dengar saudaranya sendiri?

Katanya mengusik orang Karo ibarat membangunkan “singa” tidur. Orang lain pun
mengartikannya sebagai kekuatan prinsip orang Karo yang tidak membiarkan satu saja pun dari sanak saudaranya diperlakukan tidak adil oleh siapa pun. Tapi mungkin kita lupa bahwa singa sekalipun rela membahayakan dirinya untuk menjaga kawanannya dari serangan musuh, bahkan membagikan daging mangsa untuk dilahap bersama-sama. Singa pun akan bersama untuk mempertahankan wilayah kekuasaannya dari kawanan musuh yang lain, dan kalaupun tidak dapat bertahan lagi, singa
akan tetap bersama untuk mengembara, berlindung dan mencari daerah baru bersama-
sama.

Ketika Sinabung memaksa orang-orang Karo di 18 desa sekitarnya harus mengungsi menyelamatkan nyawa mereka tanpa memikirkan harta benda dan kehidupan mereka, ke mana “singa” yang menjadi “raja” di belantara-belantara perantauan itu?

Masih kurang banyakkah air mata yang menetes menganak sungai untuk memanggilmu? Masih kurang histeriskah jeritan saudara-saudara kita disana memanggilmu sampai langitpun mendung seolah ikut bersedih bersama sendunya tatapan-tatapan kosong anak-anak kita disana?

Cobalah singgahkan ingatanmu sejenak kedalam masa kecilmu. Entahkah kau sudah lupa nyanyian kita “O Tanah Karo Simalem Inganta Cio Cilinggem.”
Tanyakan sekali pada dirimu, masih berdiri megahkah tugu perjuangan nini bulangta dulu Tugu Bambu Runcing di tengah Kota Berastagi dan di jalan Veteran Kabanjahe? Atau tak kau ingat lagi Makam Pahlawan Kabanjahe yang menjadi tempat pembaringan leluhur-leluhur pejuang kita?

Kalau tidak terpanggil juga, mungkin kalian sajalah yang jadi “singa”. Aku “semut” saja.

banner 336x280